Aceh (Tak) Hanya Pidië-Paseé
DALAM rentang waktu medio Maret – April 2015, publik di Aceh sontak dibuat terkejut oleh peristiwa tragis yang terjadi di Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara. Dua prajurit TNI meregang nyawa (Selasa, 24/3/2015) dalam kondisi yang mengenaskan setelah diculik sekelompok orang bersenjata, sehari sebelumnya (Senin, 23/3/2015).
Secara biadab, kedua TNI itu dihujani peluru yang diduga berasal dari jenis senjata laras panjang. Oknum sipil bersenjata yang terlibat perdagangan ganja diduga kuat sebagai pelaku. Sebab sebelum peristiwa itu terjadi, TNI bersama Kepolisian sangat gencar memusnahkan ladang ganja di wilayah hukum Aceh Utara.
Wilayah Aceh Utara, bagi bekas anggota GAM maupun simpatisannya, lebih dikenal sebagai Paseé –berasal dari nama kerajaan masa lalu: Kerajaan Samudera Pasai (diplesetkan menjadi Paseé), yang pusatnya berada di wilayah yang kini disebut Aceh Utara.
Tak lama berselang, sehari berikutnya (Rabu, 25/3/2015), seorang anggota POLRI di Kabupaten Pidië, tewas ditembak oleh buronan yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) aparat kepolisian terkait peredaran narkotik jenis ganja. Kondisi Aceh mendidih. Situasi keamanan bagai berada di titik nadir. Perdamaian Aceh pun dikhawatirkan terancam. Apalagi mantan Panglima KSAD yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, melontarkan pernyataan keras bahwa Provinsi Aceh akan kembali diberlakukan status Daerah Operasi Militer (DOM) pasca-meninggalnya dua prajurit TNI di Paseé (Aceh Utara). Operasi militer yang pernah diberlakukan pada masa lalu, yang hingga kini masih menyisakan trauma mendalam bagi rakyat Aceh.
Anehnya, situasi keamanan yang kritis di wilayah Paseé dan Pidie itu seolah-olah ikut menentukan iklim politik, hukum, dan keamanan (polhukam) Provinsi Aceh secara keseluruhan. Padahal, Aceh tak hanya wilayah Pidië dan Paseé belaka. Wilayah Pidië kini dimekarkan menjadi dua wilayah administratif: Pidië dan Pidië Jaya. Sedangkan Paseé jadi tiga wilayah administratif: Aceh Utara, Bireuen, dan Lhokseumawe. Wilayah pesisir timur-utara Aceh yang kerap menimbulkan peristiwa kriminal; ditambah Kabupaten Aceh Timur.
Selama ini, pola yang digunakan untuk melihat Provinsi Aceh cenderung menggunakan “kacamata” pesisir timur-utara Aceh –khususnya Pidië-Paseé. Sudut pandang seperti ini telah lama terjadi dan sudah saatnya untuk diubah. Pada hakikatnya, baik wilayah Pidië maupun Paseé bukanlah wilayah penentu pembangunan Aceh. Tentu saja bila dikaitkan dengan kondisi Aceh saat ini. Bukan pada masa megahnya gas Arun di Paseé. Kedua wilayah ini bahkan penyumbang jumlah masyarakat yang persentase kemiskinan dan gizi buruk dalam jumlah yang mengkhawatirkan. Belum lagi persoalan kriminalitas (terutama di Paseé).Pada masa konflik Aceh (1976-2005), wilayah Pidië dan Paseé memang merupakan tempat “paling subur” separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berkembang biak; hingga kini pun, Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017 merupakan putra dari dua kabupaten tersebut: Zaini Abdullah (Pidië) dan Muzakir Manaf (Paseé/Aceh Utara). Keduanya pun, juga merupakan bekas separatis GAM.
Dominasi pesisir timur-utara Aceh (khususnya Pidië-Paseé) memang sudah saatnya diakhiri agar tidak terus-terusan menjadi “ladang parasit” ketidakstabilan keamanan di Aceh. Jangan sampai, di wilayah ini yang terjadi perkara, wilayah Aceh lainnya yang malah menanggung akibatnya. Perspektif melihat Provinsi Aceh dari wilayah Pidië-Paseé tak boleh lagi dijadikan sebagai patokan mutlak. Dan sudah saatnya dikoreksi.Di Pidië dan Paseé, paham fasis (fasisme) dan paham rasis (rasisme) yang secara berlebihan membangga-banggakan etnis/suku dengan merendahkan pihak yang berbeda identitas (faktor kesukuan dan kedaerahan), berlangsung sangat parah dan telah mendarah daging di sejumlah kalangan masyarakat yang menghuni wilayah ini. Tak jarang, dalil-dalil agama pun “disalahgunakan” kelompok tertentu untuk menyebarkan paham fasis dan rasis tersebut. Akibatnya, kekerasan yang paling dominan terjadi di Aceh, sering “berbiak” dari Pidië dan Paseé.
BASIS SEPARATIS
Jika menilik kembali lembar sejarah Aceh, wilayah Pidië dan Paseé merupakan basis separatis GAM bermula dan beroperasi secara massif. Pidië merupakan tempat separatis GAM dilahirkan (Tjokkan, Gunung Halimun, 4 Desember 1976); sedangkan Paseé merupakan lokasi yang jadi “penyumbang” terbesar bertambahnya anggota separatis GAM.
Sebagaimana diketahui umum bahwa, jalinan Pidië-Paseé dalam konflik Aceh, juga diawali oleh seorang lelaki kelahiran Pidië yang bernama Hasan Muhammad alias Hasan Tiro, yang gagal mendapatkan proyek gas Arun di Paseé (Aceh Utara). Tak pelak, tingginya tingkat buta-huruf masyarakat Aceh di wilayah Pidië dan Paseé pada masa itu, telah “dimanfaatkan” Hasan Tiro untuk melampiaskan kekecewaannya, yang gagal ikut dalam eksploitasi tambang gas alam cair (liquid natural gas) atau LNG di Paseé. Alhasil, tipuan Hasan Tiro di kedua wilayah itu pun sukses besar.
Kini, baik eksekutif (pemerintah) dan legislatif (parlemen) di wilayah Pidië-Paseé, dipimpin oleh orang-orang yang notabenya merupakan bekas-bekas anggota separatis GAM yang bernaung dalam partai politik lokal terbesar yang digagas eks kombatan: Partai Aceh. Langgam mereka juga tak jauh berbeda dengan masa konflik Aceh: penuh kebohongan, abai tanggung jawab, suka cari gara-gara, dsb.Bila diperhatikan dengan cermat, “bahasa-bahasa” separatis GAM sangat laku keras di Pidië dan Paseé. Mulai dari intimidasi, pencurian, penculikan, kekerasan, dan bahkan pembunuhan, tak lagi langka ditemukan di wilayah tersebut. Kekerasan yang mengatasnamakan penegakan syariat Islam juga jadi “langganan” wilayah yang dimaksud. Di saat bersamaan, angka kemiskinan dan pengangguran di kawasan itu juga tak sedikit.
Mental separatis yang belum habis terkikis.
UBAH SUDUT PANDANG
Mengingat pola yang digunakan selama ini dalam melihat kondisi Aceh kerap disandarkan pada keadaan Pidië-Paseé, baik yang dilakukan oleh media lokal, nasional atau pun internasional, maka sudah saatnya cara demikian dikoreksi. Sebab teritori Aceh tak sesempit wilayah yang dimaksud.
Ada banyak bagian wilayah Aceh yang justru menunjukkan citra lebih baik dibandingkan wilayah Pidië-Paseé. Ada Simeulue yang sangat potensial di bidang parawisata, seperti Sabang; Ada Aceh Besar yang tersohor akan kulinernya. Begitu pun dengan wilayah tengah Aceh yang terkenal akan cita rasa kopi Gayo, seni-budaya, berikut tanaman sayuran serta buah-buahan yang dihasilkan di wilayah dataran tinggi tersebut. Dan, banyak wilayah Aceh lainnya yang sangat berpotensi untuk dikembangkan dan dapat mendatangkan keuntungan finansial yang dapat meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat.
Dengan mengubah sudut pandang demikian, khalayak dapat melihat kondisi Aceh secara komprehensif, tanpa sekat-sekat wilayah-wilayah tertentu, yang cenderung “menawarkan” kriminalitas...






0 komentar:
Posting Komentar