Home » » kisah Heroik Panglima Gam Ishak Daud wilayah Peurelak bag 1

kisah Heroik Panglima Gam Ishak Daud wilayah Peurelak bag 1

Posted by Atjeh-News


                                                           Foto Almarhum Ishak Daud

Saat sekarang banyak sekali panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini sudah menjadi orang penting di pemerintahan Aceh. Banyak diantara mereka yang belum saya kenal karena tiba-tiba muncul saat perdamaian Aceh.
Dari banyak panglima GAM, saya kok lebih terkenang pada Ishak Daud, mantan panglima GAM wilayah Peurelak. Teungku Ishak ini sudah almarhum, tetapi sepertinya beliau begitu hidup dalam pikiran saya sebagai wartawan yang pernah meliput lama di Aceh.
Saya mengenal almarhum Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Peurelak Aceh Timur tahun 2001. Saat itu saya diajak oleh senior saya Murizal Hamzah ke pedalaman Aceh Timur untuk bertemu beliau dan pasukannya.
Saat itu yang ada di kepala saya, sebagai wartawan muda yang masih miskin pengalaman dan agak naif, adalah Ishak Daud itu pemimpin GAM yang kejam. Dia sering menculik orang-orang yang dekat dengan militer seperti anak sekolah atau juga wartawan yang dianggapnya berat sebelah.
Info lain yang saya terima adalah beliau itu kebal, ditakuti dan sangat berani. Ketenaran Teungku Ishak sebagai panglima GAM itu membuat kawasan Aceh Timur termasuk kawasan yang paling rawan waktu itu.
Tapi berhubung saya penasaran terhadap komandan GAM yang satu ini, saya menerima ajakan Murizal:)
Kami berangkat dengan rombongan TVRI (media yang sering jadi bulan-bulanannya Teungku Ishak) menuju Aceh Timur dari Banda Aceh. Saya satu-satunya perempuan dalam rombongan itu.
Kami berhenti di kawasan Idi, Aceh Timur, dan mengunakan RBT atau ojek untuk mencapai Desa Keude Geurubak, yang waktu itu dianggap kawasan “hitam” oleh TNI.
Saya sempat terkagum-kagum melihat Teungku Ishak yang ternyata cool banget and was totally manly. Tubuhnya tinggi besar dan tegap. Cara bicaranya tegas, berlogat melayu dan sering sinis bila ditanya menyangkut kondisi Aceh dan kebebasan pers.
Beberapa orang yang dekat dengannya memanggil Teungku ini dengan sebutan “Abusyik” atau kakek. (Kelak saya akan memanggil beliau dengan sebutan itu juga)
Saat kunjungan pertama ini, Ishak membawa saya dan rombongan keliling kawasan Keude Geurubak. Melihat rumah-rumah yang dibakar, korban kekerasan TNI (tentu saja), dan kawasan perkebunan sawit yang sepi karena ditinggalkan oleh pekerjanya. Banyak rumah yang rusak dan sudah ditinggalkan penghuninya. Kaca pecah dan dinding berlubang menjadi saksi bisu pertempuran sengit TNI/Polri dan GAM.
Siang tiba. Kami makan siang di bawah pohon sawit sambil berdiri karena tidak ada tempat duduk. Masing-masing kami diberikan sebungkus nasi putih dan eungkot meunuloh teutumeh (ikan bandeng tumis aceh) dalam plastik yang entah kenapa rasanya kok sangat enak. Selesai makan kami masih diajak tour dengan melihat keadaan desa.
Rasanya agak aneh begitu melihat banyaknya gerilyawan GAM bersenjata AK-47 berkeliaran dengan bebasnya. Beberapa dari mereka malah ada yang menjinjing ikan untuk keluarganya. Itu merupakan pengalaman pertama saya berada di antara para gerilyawan. Padahal saya tahu mereka sedang dikejar-kejar oleh aparat keamanan.
Menjelang sore, teman-teman TVRI minta izin untuk pamit. Diluar dugaan Teungku Ishak meminta kami bermalam disana. Kami mencoba menolak dengan alasan tidak membawa peralatan mandi. Menginap bukanlah masuk dalam schedule kami di tempat yang sangat bahaya itu.
“Tenang, semua akan kami siapkan,” katanya tersenyum lebar seakan tahu kalau masalah peralatan mandi hanya alasan saja.
Anak buah Teungku Ishak kemudian datang dengan membawa handuk, sikat gigi, sabun dan bahkan shampoo satu botol besar.
“Nah, ini pasti cukup untuk sebulan kan?” katanya terbahak.
Saya tersenyum kecut. Jelas saya tidak berminat untuk tinggal disana sebulan.
Yang pasti saya tidak bisa menghubungi siapa pun untuk memberi tahu saya menginap di Keude Geurubak bersama Teungku Ishak dan pasukannya. Tidak ada sinyal disana karena pihak GAM saja mengunakan telepon satelit.
Kalau pun ada sinyal, saya juga tidak mungkin menelpon mamak saya karena beliau pasti kena serangan jantung. Meskipun saya takut dan khawatir, tapi jujur saja di hati saya yang paling dalam saya begitu excited hehehe (dasar wartawan :))
Sehabis shalat magrib, kami mengikuti Teungku Ishak dan pasukannya ke sebuah tempat yang saya tidak tahu pasti dimana. Saya hanya mendengar suara air sungai. Kami berjalan tersuruk-suruk karena kondisi jalan yang begitu gelap tanpa penerangan lampu jalan. Sesekali saya menyenggol laras AK-47 atau M-16 milik para gerilyawan yang terasa begitu dingin.
Kami tiba di sebuah gubug dari bambu yang lantainya masih berupa tanah. Suasanya gelap gulita. Tidak ada listrik karena penerangannya adalah lampu templok yang temaram. Di dalam gubuk sudah ada makanan dan juga buah-buahan. Saya keheranan melihat ada apel dan anggur disana. Teungku Ishak tersenyum lebar melihat ekspresi saya.
“Siapa bilang kami ini terisolir? Buktinya kalian bisa makan buah-buahan seperti ini,” katanya bangga.
Malam itu saya dapat giliran mewawancara Teungku Ishak untuk koran saya (waktu itu saya bekerja untuk Tabloid Kontras, anak usaha harian Serambi Indonesia). Dalam penerangan lampu minyak kami ngobrol banyak, mulai dari perjuangan GAM, cita-cita GAM dan seperti biasa Ishak mengritik wartawan yang tidak pernah mau independen dan selalu membela TNI.
Setelah ngobrol ngalor ngidul, kami diminta tidur.
“Yang laki-laki tidur dengan saya di bale-bale ini. Nani biar tidur di kamar sana, dia kan perempuan,” kata Teungku Ishak.
Saya terkesan saat itu. Ishak ternyata sangat menghormati perempuan. Dan sikap penghormatan itu tetap terlihat saat saya bertemu beliau beberapa kali setelah ini.
Malam itu begitu gelap dan sunyi. Saya berbaring di bale-bale yang cuma dialasi tikar pandan tanpa bantal tanpa bisa memejamkan mata sama sekali. Gubuk itu kembali gelap gulita karena lampu minyak sudah dimatikan. Hanya suara-suara bisikan beberapa pria di luar gubuk yang ternyata sedang dapat giliran jaga.
Saya teringat pulpen saya yang ketinggalan di meja tadi. Baru akan melangkah ke keluar kamar, saya merasa menginjak tubuh manusia. Rupanya ada prajurit GAM yang tertidur di depan kamar saya.
Saya mengurungkan niat untuk keluar kamar kembali ke bale-bale saya. Yang pasti saya sama sekali tidak tidur malam itu.
Menjelang subuh saya akhirnya berhasil keluar kamar. Saya melihat Teungku Ishak sedang shalat di bale-bale sementara wartawan lain masih tertidur. Beliau shalat begitu khusuk dan tidak menyadari kehadiran saya.
Akhirnya pagi datang (ini pagi terlama yang pernah saya alami). Saya dan teman-teman wartawan ke sungai yang ternyata terletak di belakang gubuk untuk cuci muka. Teman dari TVRI mengomel-ngomel karena mereka kenyang dinasehati Ishak Daud soal bagaimana media harus independen Hehehehe
Menjelang pukul 8 pagi kami dilepas Teungku Ishak dan pasukannya pulang. Kami pun berpamitan. Ada sebuah L-300 (kendaraan angkutan di Aceh) yang menjemput kami di Keude Geurubak, saya pikir itu pasti atas suruhan sang panglima. Kami naik ke mobil L-300 itu yang melaju meninggalkan Teungku Ishak yang melambaikan tangan..
Setelah pertemuan di Keude Gerubak tahun 2001 itu saya tidak pernah lagi ke Aceh Timur untuk bertemu Ishak Daud. Maklum, karena posisi saya di Banda Aceh, saya cenderung untuk meliput di kawasan Aceh Besar atau Aceh Utara. Kawasan Aceh Timur memang biasanya diliput teman-teman wartawan di Aceh Utara.
Meskipun demikian saya sering menghubungi Ishak Daud melalui telpon satelitnya sekedar konfirmasi berita atau beliau menelpon untuk melaporkan suatu kejadian. Saya memang mulai menjadi koresponden The Jakarta Post untuk Aceh waktu itu. Biasanya beliau menelpon sore hari, seakan tahu sekali kalau deadline saya itu pukul 5 sore.
Tentu saja tidak semua informasi yang diberikan panglima GAM yang satu ini bisa saya tulis. Saya bukan corong mereka dan saya akan memilih yang benar-benar penting untuk media saya. Sebagai wartawan saya mesti berjuang untuk memilah news value dan berusaha sedemikian mungkin untuk tidak terjebak di antara TNI dan GAM Sumpah, ini bukan pekerjaan yang mudah.
Di akhir tahun 2002 ternyata saya kembali bertemu Panglima Ishak Daud. Beliau mengundang saya untuk “main” ke tempatnya.
“Ke sinilah, nanti kita makan ikan bakar sama-sama,” katanya. Ikan bakar? Saya sepertinya tergoda untuk memenuhi undangan itu. Bukan karena ikan bakarnya, tetapi karena saya kebetulan penasaran dengan kondisi Panglima itu.
Dan kelihatannya beliau semringah begitu tahu saya bersedia ke tempatnya.
“Nah, nyan jroh. Bek jak u piasan awak tantra manteng (nah itu kan baik, jangan Cuma datang ke acara tentara saja),” katanya masih sempat-sempatnya bersinis ria pada saya.
Undangan itu juga kebetulan datang saat Aceh sedang mencoba untuk menyelesaikan konflik sejak 1976 itu. Adalah Henri Dunant Center (HDC) yang sedang mencoba menjadi fasilitator perdamaian antara GAM dan TNI di tahun 2002. Dalam proses perdamaian itu, ada proses yang dinamakan the cessation of hostilities agreement (perjanjian penghentian permusuhan). Pihak GAM dan TNI dilarang saling serang.
Saya dan beberapa teman dari Banda Aceh dan Lhokseumawe kemudian berangkat ke Aceh Timur. Seperti biasa hanya saya satu-satunya perempuan dalam rombongan. Kami sempat bermalam di losmen Kartika (sekarang hotel) Langsa semalam, sebelum paginya mendapat informasi dimana pertemuan akan diadakan.
Sepertinya pergerakan kami sudah diketahui beberapa aparat keamanan yang menyamar di losmen tempat kami menginap. Para anggota intelejen itu mondar mandir di depan kami yang kebetulan baru pulang sarapan nasi gurih di dekat losmen. Beberapa dari mereka malah duduk dekat kami, sementara yang lainnya duduk di teras losmen.
Sebagai wartawan yang sudah lama di Aceh, kami sangat mengenal mana yang intelejen aparat keamanan atau yang intelejen GAM.
“Kita harus naik kendaraan biasa,” kata seorang teman TV. ”Kalau membawa mobil bisa-bisa kita diikuti,”
Ishak Daud menelpon dan mengatakan bahwa pertemuannya akan diadakan di suatu kawasan dekat Simpang Ulim yang artinya kami semua harus kembali lagi ke arah Lhokseumawe.
Kami menumpang labi-labi (angkot di Aceh), kemudian menyambung kendaraan colt L-300. Di Simpang Ulim (mengikuti petunjuk Ishak lewat telepon satelitnya) kami berbelok menuju kawasan Pante Bidari Aceh Timur. Cukup jauh juga kami menyusuri jalan hingga akhirnya mobil itu berhenti di sebuah tempat bertenda biru yang dipenuhi dengan penduduk setempat.
Ishak menyambut rombongan kami dengan senyum lebar. Masih seperti beberapa tahun saya bertemu, panglima ini kelihatan tetap cool. Pakaiannya rapi sepertinya siap bertemu dengan wartawan. Pistol jenis FN terlihat di pinggangnya, sementara anak buahnya seperti biasa menjinjing senjata AK-47 dan M-16 berbaur dengan masyarakat, termasuk anak-anak dan para remaja putrinya.
Bila dengan wartawan lelaki Ishak bersalaman sangat lama, saya justru diperlakukan beda. Dia menjabat tangan saya sekilas dan begitu cepat seolah terpaksa harus bersalaman dengan perempuan. Meski begitu, dia begitu ramah pada saya, bahkan jauh lebih ramah dibanding pertemuan di Keude Geurubak beberapa tahun yang lalu.
”Kiban Nani? Jroh mandum (bagaimana Nani, semua baik?)?” tanyanya. Pertanyaan sama yang biasa dia lontarkan kalau menelpon saya.
Di tempat itu kami kembali bertemu dengan masyarakat yang begitu mengidolakan sang panglima. Tidak ada rasa takut di wajah mereka. Padahal saya, dan saya yakin mereka juga, tahu kalau sebentar lagi akan ada operasi TNI ke wilayah tersebut mencari idola mereka. Dan seperti biasa rakyat sipil akan diinterogasi.
Kami ngobrol soal update kondisi kekinian Aceh yang menjelang perdamaian. Ishak sepertinya tidak begitu percaya bahwa perdamaian akan terjadi. Pasalnya meskipun ada informasi penghentian permusuhan, TNI tetap saja melakukan operasi.
”Bagaimana mungkin bisa damai kalau tidak ada kepercayaan,” katanya serius.
Menjelang siang pesta ikan dimulai. Ada banyak ikan besar, termasuk ikan pari, yang panggang masyarakat untuk dimakan bersama-sama. Saya hanya menghabiskan seekor ikan ukuran kecil yang seperti biasanya rasanya sangat enak. Sementara teman-teman saya sepertinya mabuk ikan bakar.
Menjelang sore kami meninggalkan tempat itu. Saya bersyukur tidak perlu menginap kali ini. Kali ini kami langsung tancap gas ke arah Lhokseumawe tanpa melihat kiri kanan. Beberapa teman kelihatannya tertidur sepanjang perjalanan. Mungkin mereka kebanyakan makan ikan bakar.

Foto Pasukan Ishak Daud Turun Gunung
Indonesia menerapkan darurat militer di Aceh tanggal 19 Mei 2003 setelah dialog antara GAM dan Indonesia yang difasilitasi HDC gagal. Sebenarnya kegagalan dialog itu sudah terlihat sejak pertama karena kedua belah pihak tetap saling tidak percaya dan masih saling serang.
Yang saya ingat pemerintah kemudian menempatkan 30,000 pasukan TNI dan 12,000 polisi di Aceh untuk mensukseskan darurat militer tersebut, dengan target menghancurkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Masa darurat militer cukup menyibukkan kami yang berprofesi sebagai wartawan. Bukan hanya meliput berita yang kebanyakan insiden, tetapi juga memilah-milah mana berita yang bisa dikeluarkan karena salah-salah kami juga bisa dianggap mendukung pihak GAM. Selama darurat militer, sepertinya istilah cover both side terlupakan karena semua informasi resmi itu berasal dari militer, sebagai penguasa darurat di Aceh.
Suatu hari di awal bulan Juni 2003, saya ditelpon nomer satelit. Nomer yang tidak tersimpan di HP saya.
”Assalamualaikum, Nyoe Nani (Assalamualaikum, apa ini Nani?)?”
”Waalaikum salam, betoi, meuah, nyoe numboi soe (Waalaikumsalam, benar. Maaf, ini nomer siapa ya?)?” tanya saya.
Saya mendengar lawan bicara saya tertawa terbahak-bahak.
“Omannn…Bagah that tuwo keu lon. Nyoe lon Ishak (ya ampun cepat sekali lupa saya. Ini Ishak,”
Saya merasa jantung saya berdegub sangat kencang. Ini pertama kalinya Ishak Daud menelpon saya sejak darurat militer di tetapkan di Aceh. Tangan saya langsung keringatan. Tapi saya mencoba menguasai diri dari kegugupan saya.
”Oh Teungku Ishak? Kiban teungku? Peu jroh mandum (oh Teungku Ishak? Bagaimana Teungku? Baik semua)?”
”Nyoe kamoe kondisi bermasalah bacut Nani. Tapi kamoe hana tem surot. Hana peu syahid demi Aceh. Awak nyan rame that, yang sayang masyarakat habeh ye mandum. Nyoe payah Nani teupeu. (Kondisi kami agak bermasalah sedikit Nani. Tapi kami tidak akan mundur. Tidak apa-apa mati syahid demi Aceh. Mereka ramai sekali dan yang kami sayangkan masyarakat semua takut, ini yang harus Nani tahu,” kata Teungku Ishak panjang lebar.
Oh my God, saya tidak tahu harus bilang apa dan berkomentar apa pada pernyataan Ishak itu. Haruskan saya bilang Teungku hati-hati ya? Atau haruskah saya bilang Saya doakan Teungku, atau saya harus bilang kata-kata lain yang menunjukkan simpati? Bukankah Ishak Daud juga manusia yang mungkin butuh support dan spirit? Beliau sudah hampir 3 tahun menjadi nara sumber saya.
Tapi kalau saya memberikan semangat pada Teungku Ishak Daud berarti saya memihak dong. Terus bagaimana dengan pihak satu lagi?
Saya mengigit bibir saya. Ishak Daud menganggap Indonesia salah karena menjajah Aceh, dan sebaliknya Indonesia menganggap Ishak Daud sebagai separatis yang ingin keluar dari negara kesatuan.
Nah, berdasarkan pengalaman, saya tahu sekali kalau posisi saya sebagai wartawan ya berdiri di tengah-tengah bersama masyarakat biasa yang menderita karena pertikaian itu. Itu sudah mutlak.
”Nani, lon senang droun dalam kondisi jroh. Meudoa ke kamoe beh. Semoga tanyoe bagah merdeka. Insya Allah (Nani, saya senang kamu dalam kondisi baik. Tolong doakan kami ya. Semoga kita semua cepat merdeka. Insya Allah), ‘ kata Ishak.
” Insya Allah Teungku beujroh sabee (Insya Allah Teungku baik-baik selalu),’ kata saya.
” Boh kajeut. Merdeka (Baik, Merdeka). ” telpon ditutup.
Ishak Daud memang selalu menyebut kata Merdeka setiap menutup telponnya.
Itu kali terakhir Ishak Daud menghubungi saya. Berikutnya dia pasti kehilangan jejak saya karena no telpon yang biasa saya gunakan mendadak diblokir oleh Penguasa Darurat Militer. Nomer saya itu dianggap terlalu intens berhubungan dan menghubungi pihak GAM. Ohhh nooo….
Beberapa minggu kemudian saya disibukkan dengan liputan yang tidak habis-habisnya. Dan pada akhir Juni 2003 saya mendengar kabar yang sangat mengejutkan. Ishak Daud menyandera wartawan. Ampyunnn…
Saya sempat geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, disaat mereka diserang ribuan TNI kok bisa-bisanya mengadakan sweeping di jalanan dan kemudian menyandera orang. Ishak benar-benar membuktikan diri kalau dia masih punya taring dalam soal culik menculik. Bahkan dalam kondisi darurat militer sekalipun.
Berikutnya saya mengetahui kalau korban penculikan Teungku Ishak adalah wartawan RCTI Ersa Siregar dan Fery Santoro. Bersama Ersa juga ditawan dua orang istri perwira AU yaitu Safrida (35) dan Suraya (30). Terlepas dari kekesalan saya pada Teungku Ishak yang nekad menyandera wartawan, saya merasa agak aneh juga kenapa Bang Ersa membawa dua orang sipil –istri tentara pula—di dalam mobilnya.
Kembali Ishak Daud menjadi primadona media paska menyandera sipil. Semua media menghubunginya. Dan dia menyatakan kalau dia mencurigai ada pihak militer yang menyamar menjadi wartawan sehingga dia terpaksa juga menyandera wartawan RCTI.
Selama heboh diculiknya wartawan RCTI, saya kebetulan lebih konsentrasi liputan di Banda Aceh. Untuk liputan soal Ishak Daud lebih banyak dilakukan oleh rekan The Jakarta Post yang kebetulan berada di Lhokseumawe, Aceh Utara. Saat itu memang banyak sekali wartawan yang datang dari Jakarta untuk melakukan peliputan di Aceh.
Begitu juga saat Bang Ersa meninggal waktu kontak tembak di kecamatan Simpang Ulim Desember 2003, semua proses peliputan dilakukan oleh rekan-rekan di Lhokseumawe. Selamatnya para istri TNI dalam sandera GAM juga menjadi berita penting setelahnya.
Kini hanya tinggal kameramen RCTI Fery Santoro yang masih disandera. Dan itu sudah menjelang setahun.
Fery Santoro menunggu dibebaskan Ishak Daud

Fery Santoro menunggu dibebaskan Ishak Daud
Saya baru aktif meliput penyanderaan Fery Santoro setelah bulan May 2004. Saat itu memang GAM berencana melepaskan Fery. Saat itulah pertama kali saya menelpon Ishak Daud setelah hampir 6 bulan tidak pernah menghubungi dan dihubungi.
“Nani, peu haba? Gethat sombong hana hubungi lon (Nani, apa kabar? Sombong sekali tidak pernah hubungi saya)?” kata Ishak begitu saya memperkenalkan diri.
Saya langsung bertanya kapan Fery akan dibebaskan.
”Nyan hana masalah Nani. Kamoe na rencana chit undang wartawan keu peukara nyoe. Jak beh? (Itu tidak masalah Nani. Kami juga punya rencana mengundang wartawan untuk masalah ini. Pergi ya nanti,)” kata Teungku Ishak.
”Nyan kira-kira pajan Teungku. Bek trep that, sayang ngon lon nyan (Jadi kapan itu kira-kira teungku. Jangan lama-lama. Kasihan teman saya itu,),” kata saya.
Di seberang saya mendengar Ishak tertawa.
”Ntrek lon hubungi Nani beh. Pokok jih beusiap sabee (Nanti saya hubungi, yag penting selalu siap), Merdeka,” katanya.
Saya tersenyum kecut.
Bang Munir Nur, teman saya yang menjadi koresponden RCTI di Lhokseumawe mengaku sudah bosan dan lelah membujuk Ishak Daud melepaskan Fery.
”Orangnya keras kepala dan tidak peduli. Jadi tidak ada gunanya membujuk dia,” kata bang Munir yang sejak diculiknya tim RCTI makin intens berhubungan dengan Ishak Daud.
Munir juga mengaku sudah menghubungi panglima GAM lain untuk membujuk Ishak Daud. Salah satunya adalah Darwis Jeunieb, Panglima GAM wilayah Batee Iliek, Tapi, juga gagal.
”Padahal Ersa itu akrab dengan Darwis Jeunieb karena sering liputan ke Jeunieb, tapi tidak ada gunanya juga,” ujar Munir putus asa.
Informasi rencana pembebasan Fery Santoro sangat santer. Wartawan berkumpul di Losmen Kartika Langsa semakin banyak. Mereka berasal dari Banda Aceh, Lhokseumawe, Medan bahkan juga dari Jakarta Kebanyakan adalah wartawan TV yang membawa serta mobil SNG mereka.
Satu kamar losmen ditempati hingga 4 hingga 5 orang karena semua wartawan tidak mau tinggal berpisah-pisah. Mereka takut tidak berhasil meliput pembebasan Fery dan memutuskan stick together till the end.
Dari semua rombongan, saya melihat Imam Wahyudi dari RCTI dan teman-teman dari AJI sibuk menghubungi pihak Ishak dan militer. Menghubungi Ishak Daud untuk prosedur pembebasan Fery dan menghubungi penguasa darurat militer untuk permintaan agar pihak militer bisa memberikan waktu dan tidak menyerang.
Losmen Kartika bertambah ramai karena ditambah relawan PMI dan tentara-tentara. Belakangan penguasa darurat militer daerah (PDMD) Mayjen TNI Endang Suwarya dan para pengawalnya malah ikutan menginap di Losmen Kartika. Kamar mereka tidak jauh dari tempat kami berkumpul:)
Selain PMI, delegasi ICRC juga terlihat sibuk. Mereka sering melakukan rapat dengan PMI, Militer dan beberapa perwakilan RCTI dan AJI. Mencari formula yang paling tepat untuk pembebasan sang sandera. Pihak Ishak Daud yang diwakili lawyernya Alfian juga selalu terlihat dan menjadi sasaran empuk wawancara jurnalis yang haus berita.
Segala sesuatu bisa berubah setiap hitungan jam. Bahkan konfrensi pers pun bisa dilakukan pukul 12 malam. Saya sempat berpikir kok bisa ada konfrensi pers tengah malam sementara koran sudah naik cetak dan TV sibuk memutar film action saat jam seperti itu.:)
Semua wartawan punya ambisi sama, yaitu bisa menyaksikan pembebasan Fery. Keinginan itu diakomodir Ishak Daud yang ternyata mengundang semua wartawan untuk datang tanpa terkecuali. Undangan itu jelas tidak disetujui oleh PDMD karena berbahaya dan memberi peluang untuk GAM menaikkan pamornya.
Setelah beberapa hari mengalami deadlock, akhirnya win win solution dicapai. Fery akan dilepas. Pihak PDMD tidak akan mengerahkan pasukannya selama proses itu. Tidak semua wartawan boleh masuk, hanya beberapa saja yang dipilih dan setujui GAM dan PDMD. Bahan berita, foto, gambar video yang didapat akan menjadi milik semua orang alias poll. Tidak ada ekslusif-ekslusifan karena misi kemanusiaan diutamakan.
Sejumlah nama perwakilan wartawan dipilih. Beberapa di tolak karena bekerja di media asing (yang menolak adalah TNI, sementara Ishak justru sangat senang dengan blow-up media asing). Setelah proses yang cukup panjang itu akhirnya saya dihubungi ketua AJI waktu itu Eddy Suprapto untuk masuk dalam tim.
Alasan memasukkan saya ke tim ternyata karena dua faktor 1. saya perempuan (alamak) 2. saya pernah berhubungan baik dengan Ishak (nah loh). Saya baru sadar ternyata dalam hal emergency seperti ini masalah gender juga harus dipertimbangkan.
Saya sadar sesadar-sadarnya ini bukan pekerjaan yang aman. Masuk ke tempat GAM saat darurat militer? Bisa-bisa ketika keluar saya akan ditangkap oleh militer dan diinterogasi. Apa pun mungkin saat darurat militer.
Teman AJI meyakinkan saya kalau semua akan aman-aman saja.
”Ada Munir RCTI juga dalam rombongan,” kata Pak Eddy saat itu.
Saya melirik Bang Munir yang tersenyum-senyum simpul. Saya mengenal Bang Munir sejak lama. Beliau teman liputan yang sedikit konyol dan berani. Yang lebih penting beliau wartawan lokal, sama seperti saya. Munir juga kecilnya pernah di Aceh Timur, setidaknya kalau ada apa-apa ada yang bisa saya andalkan.
”Perjanjiannya harus menginap,” kata Pak Eddy.
”Kalau semalam tidak masalah,” kata saya.
Terpilihnya saya dan beberapa teman (Husni Arifin/ Republika, Munir dan Imam/RCTI, Nezar Patria/ Tempo/AJI dan Solahuddin IFJ) menunai berbagai kecaman. Banyak diantara mereka yang menganggap pemilihan anggota tim tidak fair.
Bahkan saya sempat dimusuhi beberapa teman yang menganggap saya sengaja menyodor-nyodorkan diri supaya bisa dimasukkan ke dalam tim. Saya dianggap terlalu berambisi, egois dan mau menang sendiri.
Andai saja mereka tahu kalau saya menerima permintaan ini murni hanya karena saya ingin Fery cepat bebas. Kami, wartawan lokal, cukup lelah dengan masalah sandera ini dan ingin cepat selesai. Tidak ada pikiran untuk mendapatkan gambar ekslusif dari sana. Kalau bisa saya malah ingin bertukar tempat.
Andai mereka pernah menginap semalam dengan Teungku Ishak seperti yang pernah saya alami tahun 2001, mereka pasti akan tahu bahwa ini bukan keputusan mudah.
Andai mereka tahu bahwa tidak ada seorang pun yang bisa tahu apa yang akan terjadi di ”dalam” sana termasuk juga jaminan bahwa ketika keluar dari sana kami akan selamat.
Menjadi jurnalis di wilayah konflik memang terkesan keren dan semua orang berlomba-lomba ingin pernah merasakannya. Tapi tidak banyak yang tahu kalau nyawa diri dan keselamatan orang banyak lebih penting dari cuma satu dua foto ekslusip.
Akhirnya tanggal 13 May tim kami berangkat ke kawasan Peudawa. Menuju Desa Lhok Jok. Tidak pernah saya bayangkan bahwa saya akan mengalami hal yang lumayan membuat saya trauma di sana.


0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.